Rabu, 27 Juli 2011

Tujuh Cara Tentukan Ramadan






JAKARTA - Imam Masjid Istiqlal Ali Mustafa Yaqub memprediksi, bakal ada tujuh macam penentuan awal Ramadan dan Idulfitri tahun ini. Banyaknya cara tersebut, ditengarai menjadi salah satu pertanda umat Islam sudah mulai tidak percaya atau ogah mengakui pemerintah sebagai imam. Dia mengharapkan, ada undang-undang yang mengatur cara penentuan Ramadan dan Idulfitri.
Saat dihubungi Minggu kemarin (24/7), mantan wakil ketua komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu membeber tujuh cara penentuan awal Ramadan dan Idulfitri 1432 Hijriah/2011 Masehi. Ali Mustafa menjabarkan cara-cara itu adalah rukyat, menggenapkan puasa selama 30 hari ataurukyat hilal syawal seperti sering dilakukan ormas NU, dan wujudul hilal atau sering disebut dengan ijtimak qoblal  qurub yang kerap digunakan sebagian masyarakat.
Cara lainnya yang diprediksi Ali Mustafa bakal terjadi adalah imkanur rukyat atau dasar perhitungan hilal dengan patokan sudah mungkin dirukyat. Cara ini kerap diambil MUI untuk mengakomodir perbedaan ormas NU dan Muhammadiyah. ''Dua cara pertama tadi dijamin benar,'' tutur guru besar hadits Institut Ilmu Alquran (IIQ) Jakarta itu. Sementara dua yang terakhir menurut dia masih abu-abu atau diragukan kebenarannya.
Ali Mustafa juga menyebutkan tiga pola lain penentuan Ramadan dan Idulfitri yang pasti salah. Tiga pola itu adalah perasaan syekh, dimana cara ini kerap digunakan kelompok-kelompok tarikat. Selanjutnya ada penentuan dengan menggunakan tanda-tanda alam, dan cara penentuan yang menghindari dua kali khotbah dalam satu hari. ''Cara-cara ini keliru, dan berpotensi meresahkan,'' ujarnya.
Sayangnya, aparat tidak bisa berbuat banyak terhadap pola-pola penentuan Ramadan dan Idulfitri yang salah dan meresahkan tersebut. Padahal, menurut Ali Mustafa, gejala ini cukup mengkhawatirkan. Sebab, berpotensi melemahkan peran negara sebagai poros keberagaman masyarakat. Untuk itu, dia menyarankan ada undang-undang yang khusus mengatur ketentuan menetapkan Ramadan dan Lebaran.
Sebagai ulama yang pernah berkecimpung di MUI, Ali Mustafa menuturkan, jika di internal MUI masih bermunculkan oknum-oknum yang menyuburkan banyaknya pola penentuan Ramadan dan Lebaran itu. ''Ada teman-teman yang khotbah Ramadan berkali-kali dalam seminggu,'' ungkap ulama alumnus Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jatim itu. Dia berharap, MUI juga wajib menjembatani munculnya keanekaragaman sistem penentuan Ramadan dan Lebaran. 
Ali Mustafa: Dua Cara yang Dijamin Benar

Menjelang Ramadhan

Di Indonesia, ada ‘tradisi’ yg terlihat sepele, namun selalu dilakukan menjelang Ramadhan. Sayangnya tradisi ini, sepengetahuanku, sifatnya (maaf) hanya hangat-hangat tahi ayam. Dengan kata lain, sifatnya sementara…hanya menjelang Ramadhan. Setelah Ramadhan, yaaa…kembali ke ‘default’ semua. :(

“Tradisi” yg aku maksudkan adalah:
- Penertiban minuman keras di warung-warung/kedai-kedai (sayangnya penertiban ini hanya dilakukan menjelang Ramadhan. Padahal seringkali kejahatan akibat minuman keras, justru terjadi di luar bulan Ramadhan. Mestinya, ini saran, pak polisi lebih sering merazia di luar bulan Ramadhan:));
- Penangkapan + penyuluhan terhadap para wanita tuna susila (ini juga idem ditto seperti poin di atas. Hanya semarak, bahkan bisa dibilang sporadis, saat menjelang bulan Ramadhan. Setelah Ramadhan, mereka berkeliaran lagi:();
- Perubahan tampilan para artis. Yg semula buka2an, sekarang berjilbab, pokoknya ‘nampak soleh(ah)’.(maaf jika aku terkesan menghakimi mereka. INI FAKTA!!! Yg biasanya pamer aurat, rame2 pake jilbab, memberi kesan bahwa … ah, sudahlah, aku tidak mau banyak bicara untuk urusan ini.);
- Ramainya sms-sms dan email-email berisi permintaan maaf menjelang Ramadhan (errrr….untuk hal ini, insya ALLOH aku akan bahas di kali lain)
- Sulitnya memperoleh barang-barang pokok/stok berkurang (para pedagang berusaha menumpuk barang2 pokok/kebutuhan sehari-hari, demi menunggu kenaikan harga barang2 tersebut.);
- Kenaikan harga-harga barang-barang pokok (mungkin ini satu-satunya ‘peristiwa’ yg tidak kembali ke ‘defaultnya’. Jika kita perhatikan, terkait dg poin sebelumnya, kenaikan barang2 terjadi karena para pedagang berusaha mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.);
- Ramai2 ziarah ke kubur (insya ALLOH aku bahas juga di lain waktu);
- Penertiban bar, panti pijat, dan tempat-tempat maksiat lainnya(sayangnya, masih banyak yg melanggar, meski sudah ada peraturannya.).
Demikian artikel ini dibuat, sekedar ‘pelampiasan’ untuk menulis…sebagai “tanggapan” terhadap “tradisi” menjelang Ramadhan yg aku lihat selama ini.

Nasehat Menjelang Ramadhan



(Oleh: Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Abdirrahman 
Baz rahimahullâh[1])
بِسْمِ ٱللهِ وَالْحَمْدُلِلَّهِ وَصَلَّى ٱللهُ عَلَى رَسُوْلِ ٱللهِ
وَعَلَى آلِهِ وَ أَصْحَابِهِ وَمَنِ اهْتَدَى بِهُدَاهُ ، أَمَّا بَعْدُ
Berkenaan dengan kehadiran bulan Ramadhân, saya menasehatkan kepada saudara-saudaraku kaum Muslimin dimanapun berada agar senantiasa bertakwa kepada Allâh Ta’âla, berlomba-lomba melakukan kebaikan, saling memberi nasehat dan sabar dalam menasehati, saling menolong dalam melakukan kebaikan, menjauhi semua perbuatan maksiat yang diharamkan oleh Allâh Ta’âla dimanapun dan kapanpun jua, terutama pada bulan Ramadhân. Karena bulan Ramadhân adalah bulan yang teramat mulia. Amalan-amalan shaleh di bulan ini dilipat-gandakan balasannya dan orang yang berpuasa dan melakukan qiyâmul lail (tarawih) dengan didasari iman dan mengharapkan pahala, dosa-dosanya akan dihapus oleh Allâh Ta’âla.
Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa berpuasa pada Ramadhân karena iman dan mengharap pahala,
maka dia diampuni dosanya yang telah lewat
.
[2]
Juga sabda Beliau Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam :
إِذَا دَخَلَ شَهْرُ رَمَضَا نَ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ
وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ وَسُلْسِلَتْ الشَّيَاطِينُ
Apabila bulan Ramadhân telah tiba, pintu-pintu surga dibuka,
pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan dirantai
.[3]
Juga sabda Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam, yang artinya,
“Puasa itu adalah perisai.
Saat salah diantara kalian sedang berpuasa,
janganlah ia berbuat keji dan jangan menyalakan api permusuhan.
Jika dia dihina atau diperangi oleh orang lain,
hendaknya dia mengatakan, ‘Aku sedang berpuasa.
‘”
[4]
Dan sabda Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam, yang artinya,
Allâh Ta’âla berfirman:  ‘Semua amalan manusia untuknya.
Satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kalinya, kecuali puasa.
Puasa itu untuk-Ku dan saya akan membalasnya.
Dia meninggalkan tuntutan syahwatnya, tidak makan dan dia tidak minum demi Aku.
Orang yang berpuasa mendapatkan dua kebahagiaan,
kebahagiaan ketika berbuka dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabb-nya.
Sungguh disisi Allâh, aroma mulut orang yang sedang berpuasa itu
lebih wangi daripada aroma kasturi.”
[5]
Saya juga mewasiatkan kepada saudara-saudaraku kaum Muslimin agar tetap istiqâmah pada siang ataupun malam Ramadhân, berlomba-lomba melakukan kebaikan. Diantara perbuatan baik itu adalah membanyak membaca al-Qur’ân sambil mentadabburi dan memahaminya, memperbanyak tasbîh, tahmîd, tahlîl, takbîr, istighfâr, berdoa kepada Allâh Ta’âla agar dimasukan ke surga dan diselamatkan dari siksa neraka dan berbagai do’a kebaikan lainnya.
Tak lupa, saya juga mewasiatkan kepada saudara-saudaraku kaum Muslimin agar memperbanyak shadaqah, membantu orang-orang fakir, miskin, menunaikan zakat dan menyerahkannya kepada yang berhak menerimanya, memperhatikan dakwah, mengajari orang yang tidak tahu, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran dengan cara yang lembut, penuh hikmah dan dengan metode-metode yang bagus bukan yang buruk, istiqâmah diatas al-haq dan senantiasa bertaubat kepada Allâh Ta’âla.
Allâh Ta’âla berfirman, yang artinya,
“Bertaubatlah kamu sekalian kepada Allâh,
Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
 

(Qs an-Nûr/24:31)
Juga firman Allâh Ta’âla, yang artinya,
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Rabb Kami adalah Allâh”,
kemudian mereka tetap istiqamah,
maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.
Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya;
sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.

(Qs al-Ahqâf/46:13-14)
Semoga Allâh Ta’âla senantiasa memberikan taufik kepada kita semua untuk melakukan segala yang diridhai-Nya dan semoga Allâh Ta’âla melindungi kita semua dari segala fitnah yang menyesatkan serta jebakan setan.
Sesungguhnya Allâh Maha Pemurah lagi Maha Mulia.
[1]Diterjemahkan dari Majmu’ Fatâwâ wa Maqâlât Mutanawwi’ah, 15/48-50
[2]HR Bukhâri, no. 2014 dan Muslim, no. 760
[3]HR Bukhâri, no. 1899 dan Muslim, no. 1079
[4]HR Bukhâri, no. 1904
[5]HR Bukhâri dan Musli
(Majalah As-Sunnah Edisi Khusus (04-05) Tahun XIV)

Selasa, 26 Juli 2011

MENGUCAPKAN SALAM MENURUT ISLAM

Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Hasyr Ayat 23:
Dialah Allah, tidak ada ilaah(sesembahan) yang layak kecuali Dia, Maha Rajadiraja, yang Maha Suci, Maha Sejahtera, Maha Mengaruniai rasa aman, Maha Memelihara, Maha Perkasa, Maha Kuasa, Maha Memiliki segala keagungan. Maha Suci Allah dari segala yang mereka persekutukan.

Didalam ayat ini, As-Salaam (Maha Sejahtera) adalah satu dari Nama-nama Agung Allah SWT. Kini, Kita akan mencoba untuk memahami arti, keutamaan dan penggunaan kata Salam.

Sebelum terbitnya fajar Islam, orang Arab biasa menggunakan ungkapan-ungkapan yang lain, seperti Hayakallah yang artinya semoga Allah menjagamu tetap hidup, kemudian Islam memperkenalkan ungkapan Assalamu ‘alaikum. Artinya, semoga kamu terselamatkan dari segala duka, kesulitan dan nestapa. Ibnu Al-Arabi didalam kitabnya Al-Ahkamul Qur’an mengatakan bahwa Salam adalah salah satu ciri-ciri Allah SWT dan berarti Semoga Allah menjadi Pelindungmu.

Ungkapan Islami ini lebih berbobot dibandingkan dengan ungkapan-ungkapan kasih-sayang yang digunakan oleh bangsa-bangsa lain. Hal ini dapat dijelaskan dengan alasan-alasan berikut ini.

1. Salam bukan sekedar ungkapan kasih-sayang, tetapi memberikan juga alasan dan logika kasih-sayang yang di wujudkan dalam bentuk doa pengharapan agar anda selamat dari segala macam duka-derita. Tidak seperti kebiasaan orang Arab yang mendoakan untuk tetap hidup, tetapi Salam mendoakan agar hidup dengan penuh kebaikan.

2. Salam mengingatkan kita bahwa kita semua bergantung kepada Allah SWT. Tak satupun makhluk yang bisa mencelakai atau memberikan manfaat kepada siapapun juga tanpa perkenan Allah SWT.

3. Perhatikanlah bahwa ketika seseorang mengatakan kepada anda, “Aku berdoa semoga kamu sejahtera.” Maka ia menyatakan dan berjanji bahwa anda aman dari tangan (perlakuan)nya, lidah (lisan)nya, dan ia akan menghormati hak hidup, kehormatan, dan harga-diri anda.

Ibnu Al-Arabi didalam Ahkamul Qur’an mengatakan:
Tahukah kamu arti Salam? Orang yang mengucapkan Salam itu memberikan pernyataan bahwa ‘kamu tidak terancam dan aman sepenuhnya dari diriku.’
Kesimpulannya, bahwa Salam berarti, (i) Mengingat (dzikr) Allah SWT, (ii) Pengingat diri, (iii) Ungkapan kasih sayang antar sesama Muslim, (iv) Doa yang istimewa, dan (v) Pernyataan atau pemberitahuan bahwa ‘anda aman dari bahaya tangan dan lidahku’
Sebuah Hadits merangkumnya dengan indah:

Muslim sejati adalah bahwa dia tidak membahayakan setiap Muslim yang lain dengan lidahnya dan tangannya

Jika kita memahami hadits ini saja, sudahlah cukup untuk memperbaiki semua umat Muslim. Karena itu Rasulullah Muhammad SAW sangat menekankan penyebaran pengucapan Salam antar sesama Muslim dan beliau menyebutnya sebagai perbuatan baik yang paling utama diantara perbuatan-perbuatan baik yang anda kerjakan.
Ada beberapa Sabda Rasulullah, SAW yang menjelaskan pentingnya ucapan salam antar seluruh Muslim.

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Kamu tidak dapat memasuki Surga kecuali bila kamu beriman. Imanmu belumlah lengkap sehingga kamu berkasih-sayang satu sama lain. Maukah kuberitahukan kepadamu sesuatu yang jika kamu kerjakan, kamu akan menanamkan dan memperkuat kasih-sayang diantara kamu sekalian? Tebarkanlah ucapan salam satu sama lain, baik kepada yang kamu kenal maupun yang belum kamu kenal.” (Muslim)

Abdullah bin Amr RA mengisahkan bahwa seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW, “Apakah amalan terbaik dalam Islam?” Rasulullah SAW menjawab: Berilah makan orang-orang dan tebarkanlah ucapan salam satu sama lain, baik kamu saling mengenal ataupun tidak.” (Sahihain)

Abu Umammah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:”Orang yang lebih dekat kepada Allah SWT adalah yang lebih dahulu memberi Salam.” (Musnad Ahmad, Abu Dawud, dan At Tirmidzi)

Abdullah bin Mas’ud RA meriwayatkan Bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Salam adalah salah satu Asma Allah SWT yang telah Allah turunkan ke bumi, maka tebarkanlah salam. Ketika seseorang memberi salam kepada yang lain, derajatnya ditinggikan dihadapan Allah. Jika jama’ah suatu majlis tidak menjawab ucapan salamnya maka makhluk yang lebih baik dari merekalah (yakni para malaikat) yang menjawab ucapan salam.” (Musnad Al Bazar, Al Mu’jam Al Kabir oleh At Tabrani)
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Orang kikir yang sebenar-benarnya kikir ialah orang yang kikir dalam menyebarkan Salam.”
Allah SWT berfirman didalam Al-Qur’an Surat An-Nisa Ayat 86:

Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan maka balaslah dengan penghormatan yang lebih baik, atau balaslah dengan yang serupa. Sesungguhnya Allah akan memperhitungkan setiap yang kamu kerjakan.

Demikianlah Allah SWT memerintahkan agar seseorang membalas dengan ucapan yang setara atau yang lebih baik. Hal ini telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hathim. Suatu hari ketika Rasulullah SAW sedang duduk bersama para sahabatnya, seseorang datang dan mengucapkan, “Assalaamu’alaikum.” Maka Rasulullah SAW pun membalas dengan ucapan “Wa’alaikum salaam wa rahmah” Orang kedua datang dengan mengucapkan “Assalaamu’alikum wa rahmatullah” Maka Rasulullah membalas dengan, “Wa’alaikum salaam wa rahmatullah wabarakatuh” . Ketika orang ketiga datang dan mengucapkan “Assalaamu’alikum wa rahmatullah wabarakatuhu.” Rasulullah SAW menjawab: ”Wa’alaika”.
Orang yang ketiga pun terperanjat dan bertanya, namun tetap dengan kerendah-hatian, “Wahai Rasulullah, ketika mereka mengucapkan Salam yang ringkas kepadamu, Engkau membalas dengan Salam yang lebih baik kalimatnya. Sedangkan aku memberi Salam yang lengkap kepadamu, aku terkejut Engkau membalasku dengan sangat singkat hanya dengan wa’alaika.” Rasulullah SAW menjawab, “Engkau sama sekali tidak menyisakan ruang bagiku untuk yang lebih baik. Karena itulah aku membalasmu dengan ucapan yang sama sebagaimana yang di jabarkan Allah didalam Al-Qur’an.”

Dengan demikian kita bisa mengambil kesimpulan bahwa, membalas Salam dengan tiga frasa (anak kalimat) itu hukumnya Sunnah, yaitu cara yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. Kebijaksanaan membatasi Salam dengan tiga frasa ini karena Salam dimaksudkan sebagai komunikasi ringkas bukannya pembicaraan panjang.

Didalam ayat ini Allah SWT menggunakan kalimat obyektif tanpa menunjuk subyeknya. Dengan demikian Al-Qur’an mengajarkan etika membalas penghormatan. Disini secara tidak langsung kita diperintah untuk saling memberi salam. Tidak adanya subyek menunjukkan bahwa hal saling memberi salam adalah kebiasaan normal dan wajar yang selalu dilakukan oleh orang-orang beriman. Tentu saja yang mengawali mengucapkan salamlah yang lebih dekat kepada Allah SWT sebagaimana sudah dijelaskan diatas.
Hasan Basri menyimpulkan bahwa:
“ Mengawali mengucapkan salam sifatnya adalah sukarela, sedangkan membalasnya adalah kewajiban”
Disebutkan didalam Muwattha’ Imam Malik, diriwayatkan oleh Tufail bin Ubai bin Ka’ab bahwa, Abdullah bin Umar RA biasa pergi ke pasar hanya untuk memberi salam kepada orang-orang disana tanpa ada keperluan membeli atau menjual apapun. Ia benar-benar memahami arti penting mengawali mengucapkan salam.
Pada bagian kalimat terakhir Surat An-Nisa ayat 86, Allah SWT berfirman:

… Sesungguhnya Allah akan memperhitungkan setiap yang kamu kerjakan.
Disini, mendahului memberi salam dan membalasnya juga termasuk yang diperhitungkan. Maka kita hendaknya menyukai mendahului memberi salam. Sama halnya kita harus membalas salam demi menyenangkan Allah SWT dan menyuburkan kasih-sayang diantara kita semua.

Rasulullah SAW selanjutnya memberikan arahan memberi salam bahwa:
• Orang yang berkendaraan harus memberi salam kepada pejalan-kaki.
• Orang yang berjalan kaki memberi salam kepada yang duduk.
• Kelompok yang lebih sedikit memberi salam kepada kelompok yang lebih banyak jumlahnya.
• Yang meninggalkan tempat memberi salam kepada yang tinggal.
• Ketika pergi meninggalkan atau pulang ke rumah, ucapkanlah salam meski tak seorangpun ada di rumah (malaikat yang akan menjawab).
• Jika bertemu berulang-ulang maka ucapkan salam setiapkali bertemu.
Pengecualian kewajiban menjawab salam:
• Ketika sedang sholat. Membalas ucapan salam ketika sholat membatalkan sholatnya.
• Khatib, orang yang sedang membaca Al-Qur’an, atau seseorang yang sedang mengumandangkan Adzan atau Iqamah, atau sedang mengajarkan kitab-kitab Islam.
• Ketika sedang buang air atau berada di kamar mandi.
Selanjutnya, Allah SWT menerangkan keutamaan salam didalam surat Al-An’aam ayat 54:

Jika orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami (Al-Qur’an) datang kepadamu, ucapkanlah “Salaamun’alaikum (selamat-sejahtera bagimu)”, Tuhanmu telah menetapkan bagi diri-Nya kasih-sayang. (Yaitu) Bahwa barangsiapa berbuat kejahatan karena kejahilannya (tidak tahu/bodoh) kemudian ia bertaubat setelah itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Di ayat ini Allah SWT memerintah Nabi Muhammad SAW sehubungan dengan orang-orang beriman yang miskin, yang hampir semuanya menumpang tinggal di tempat para sahabat. Walaupun orang-orang kafir yang kaya meminta agar Rasulullah SAW mengusir para dhuafa’ itu supaya orang-orang kaya itu bisa bersama Rasulullah, Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk menyambut para dhuafa’ Muslim itu dengan ‘Assalamu ‘alaikum’ pada sa’at kedatangan mereka. Hal ini mengandung dua arti: Pertama, menyampaikan penghormatan dari Allah SWT kepada mereka. Ini adalah kehormatan dan penghargaan yang tinggi bagi Muslim yang miskin dan tulus hati. Perlakuan ini menguatkan hati dan menambah semangat mereka. Arti ke-dua, menyampaikan sambutan yang baik yang pantas mereka terima, atas ijin Allah SWT, dengan nyaman, damai dan tenang, meskipun jika mereka membuat beberapa kesalahan.

Semoga Allah SWT menganugerahi kita kesanggupan untuk melaksanakan pengucapan salam dengan semangat islami yang lurus didalam hidup kita sehari-hari dan dengan melaksanakannya menumbuhkan kasih-sayang dan persatuan diantara kita. Amiin.

Author by Imtiaz Ahmad M. Sc., M. Phil. (London) Translated by Ir. Gusti Noor Barliandjaja and Muhammad Arifin M.A. (Madinah)

Persahabatan Dalam Islam

Istilah sahabat dalam Islam sedemikian popular. Nabi memiliki banyak sahabat dalam mengembangkan Islam. Ada empat sahabat nabi yang amat dikenal, yang kemudian memimpin masyarakat Islam sepeninggal Nabi, yaitu Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali. Ke empat sahabat nabi ini, menurut tarekhnya, mereka sedemikian tulus dan dekat dengan nabi.

Para sahabat itu memiliki komitmen yang amat tinggi dalam memperjuangkan Islam. Apa saja ynag dilakukan oleh nabi, mereka ikuti dan kerjakan. Hubungan mereka dijalin bukan atas kepentingan, melainkan atas dasar cinta terhadap ajaran Islam yang sedemikian mulia. Atas dasar itu maka hidup dan atau mati mereka, hanya diperuntukkan bagi perjuangan agama Allah itu. Sebaliknya, antara sahabat dengan nabi tidak pernah terjadi konflik, salah paham, dan sejenisnya.

Mereka itu semua adalah orang-orang yang setia, sehingga pada saat nabi masih hidup, sekalipun sedemikian berat, perjuangan nabi selalu berhasil dengan gemilang. Kiranya tidak bisaa dibayangkan, andaikan para sahabat tersebut, tidak memiliki komitmen dan atau hati mereka tidak diikat oleh tali kasih sayang yang mendalam. Mungkin nabi akan disibukkan oleh persoalan-persoalan internal di lingkungan sahabat sendiri.

Persahabatan seperti itu, memang seharusnya bisa dicontoh oleh umatnya. Persahabatan dalam Islam diikat oleh tali keimanan dan kasih sayang di antara mereka. Iman selalu bersemayam di hati dan bukan hanya terletak di alam pikiran. Iman berbeda dengan sebatas pemahaman. Jika iman berada di hati maka pemahaman dan kesepakatan atau komitmen selalu berada di alam pikiran. Suara hati agaknya memang berbeda dengan suara akal. Suara hati selalu didasari oleh nilai-nilai luhur kasih sayang, sedangkan kesepakatan dan komitmen didasari oleh kepentingan-kepentingan.

Ikatan keseimanan dan kasih sayang, tidak mengenal transaksi, pertimbangan untung atau rugi, dan siapa mendapatkan apa. Berbeda dengan itu adalah hubungan-hubungan rasional dan kesepahaman yang biasanya diikat oleh janji atau MoU, maka berkemungkinan pihak-pihak tertentu, setelah mempertimbangkan untung atau rugi, apalagi ditengarai telah terjadi suasana tidak jujur dan tidak adil, maka kesepakatanm itu akan dibatalkan dan bahkan saling menggugat dan membatalkan kerjasama itu.

Islam sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah, dalam membangu persahabatan didasari oleh kecintaan pada Allah dan rasulnya. Oleh karenanya, ikatan itu lebih konstan, mantap dan istiqomah. Persahabatan dalam Islam dibina sepanjang waktu, baik dalam kegiatan spiritual maupun dalam kegiatan social. Dalam kegiatan spiritual misalnya, setiap sholat selalu bacaannya diakhiri dengan mengucap salam ke kanan dan ke kiri. Ucapan salam itu berisi doa, memohon agar keselamatan dan rakhmat Allah selalu melimpah kepada saudaranya sesama muslim.

Dalam kegiatan ritual, seperti dalam sholat tergambar bahwa seorang muslim tidak hanya berharap mendapatkan keselamatan bagi dirinya sendiri dan keluarganya, melainkan keselamatan bagi seluruh kaum muslimin. Demikian pula, dalam berbagai doa’ yang diucapkan, kaum muslimin selalu menyempurnakan doanya terhadap seluruh kaum muslimin dan muslimat, mukminin dan mukminat, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Persahabatan kaum muslimin, sesungguhnya secara doktriner, diikat secara kokoh dalam waktu yang amat panjang, baik di dunia maupun akherat. Hubungan sesame kaum muslimin, dibangun sebagaimana sebuah bangunan rumah, antara bagian satu dengan bagian lainnya saling memperkukuh. Selain itu juga diumpamakan bagaikan tubuh, maka jika sebagian sakit maka yang lainnya akan merasa sakit, dan demikian juga sebaliknya.

Hanya sayangnya konsep yang sedemikian luhur itu belum bisa direalisasikan sepenuhnya dalam kehidupan nyata. Di antara kaum muslimin seringkali masih saling bercerai berai. Berbagai organisasi Islam yang muncul di mana-mana, yang semestinya antara satu dan lainnya saling memperkukuh, namun pada kenyaannya justru sebaliknya. Antar berbagai organisasi terjadi saling berkompetisi, konflik dan bahkan juga saling menyerang dan menjatuhkan. Lebih ironi lagi, konflik itu tidak saja terjadi antar organisasi Islam, tetapi justru terjadi pula di antara internal organisasi.

Sedemikian rentannya persahabatan di antara kaum muslimin, sehingga seringkali terdengar joke, bahwa agar para iblis tidak terlalu capek menggoda manusia, maka makhluk Allah yang dianggap paling mulia tersebut didorong saja mendirikan organisasi dan syukur kalau organisasi yang bernuansa politik. Jika organisasi atau partai politik itu sudah berhasil berdiri, maka sekalipun setan tidak bekerja, maka mereka dengan sendirinya sehari-hari akan konflik dan saling menyerang dan menjatuhkan satu dengan lainnya.

Anekdot tersebut rasanya tidak sulit dipahami dari kalangan umat Islam. Selama ini seolah-olah ajaran Islam tidak memiliki konsep tentang persatuan umat. Selain itu seolah-olah Islam belum menjadi faktor pemersatu, dan sebaliknya, justru menjadi kekuatan pemecah belah umat manusia. Padahal kenyataannya tidak begitu. Banyak hadits nabi menegaskan bahwa antara sesame kaum muslimin adalah bagaikan saudara. Persatuan hendaknya diperkokoh. Sesama kaum muslimin harus saling mencintai. Demikian pula al Qur’an secara tegas melarang saling bercerai berai di antara kaum muslimin.

Perpecahan, tidak terkecuali di antara kaum muslimin, sudah menjadi hal biasa. Maka kemudian muncul jargon-jagon pembenar terjadinya konlik, dan atau perpecahan apalagi dalam organisasi politik. Mereka mengatakan bahwa berbeda pendapat, konflik dan sejenisnya adalah syah-syah saja. Bahkan menganggap hal wajar sebuah statemen yang mengatakan bahwa, persahabatan dalam politik tidak pernah abadi. Sebaliknya, mereka mengatakan bahwa yang abadi adalah kepentingan. Sehingga, sepanjang di antara mereka masih memiliki kepentingan yang sama, maka kelompok itu masih bisa bersatu, dan sebaliknya akan bercerai jika kepentingan itu tidak didapat.

Persahabatan yang dicontohkan oleh Rasulullah sesungguhnya tidak demikian. Persahabatan itu diikat oleh kasih sayang yang mendalam, iman, dan ketaqwaan. Kasih sayang atau saling mencintai di antara kaum muslimin harus didasarkan atas motivasi karena Allah dan Rasulnya, dan bukan karena kepentingan sebagaimana dalam ikatan politik itu. Negeri yang kita cintai ini, semestinya dibangun atas dasar kecintaan kepada bangsa dan negara, dan bukan atas dasar kepentingan golongan atau partai. Dalam Islam mencintai bangsa adalah bagian dari keimanan seseorang. Jika demikian halnya, maka sesungguhnya tidak akan terjadi fenomena persaingan di antara pemimpin bangsa, yang mereka itu masih sama-sama mendapatkan amanah dari rakyat.

Memang fenomena seperti itu, menurut bahasa politik adalah syah-syah saja dilakukan oleh siapapun. Keputusan itu tidak sedikitpun menyalahi undang-undang atau peraturan yang ada. Akan tetapi, sesungguhnya jika ikatan di antara itu bukan sebatas komitmen, kesepakatan atau kepentingan, melainkan berupa tali keseimanan, kecintaan terhadap bangsa, maka semestinya para pemimpin selalu mengambil tindakan arif dan bijak. Atas dasar kecintaannya itu , maka masing-masing akan selalu menjaga persahabatan yang telah dibangun atas dasar nilai-nilai mulia itu. Islam tidak mengenal istilah persahabatan sementara, sesaat, bebas atau liberal. Tetapi dalam dunia ekonomi saja istilah seperti itu ada, yaitu ekonomi liberal, yang juga banyak orang ternyata tidak menyukainya. Wallahu a’lam.

Al-Fattah : Maha Pembuka Kebaikan Dan Pemberi Keputusan

AL-FATTAH, MAHA PEMBUKA KEBAIKAN DAN PEMBERI KEPUTUSAN
USTADZ ABDULLAH BIN TASLIM AL-BUTHONI,MA
DASAR PENETAPAN
Nama Allah Subhaanahu Wa Ta’ala yang maha indah ini disebutkan dalam firman-Nya :
Katakanlah : “Rabb kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar. Dan Dia-lah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui” (QS. Saba/34:26)
Juga diisyaratkan dalam firman-Nya :
Pengetahuan Rabb kami meliputi segala sesuatu. Kepada Allah sajalah kami bertawakkal. Ya Rabb kami, berilah keputusan natara kami dan kaum kami dengan hak (adil) dan Engkaulah Pemberi keputusan yang sebaik-baiknya (QS. al-A’raf/7:89)
Berdasarkan ayat di atas, para ulama menetapkan nama al-Fattah sebagai salah satu dari nama Allah Subhaanahu Wa Ta’ala yang maha indah, seperti Imam Ibnul Atsir Rahimahullah [1], Ibnu Qayyim al-Jauziyya [2] Rahimahullah, Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di [2] Rahimahullah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin [4], dan lain-lain.

MAKNA AL-FATTAH SECARA BAHASA
Ibnu Faris Rahimahullah menjelaskan bahwa asal kata yang benar dari nama ini menunjukkan makna lawan kata dari menutup. Kemudian dari asal makna ini diambil makna-makna lain dari kata ini, seperti menghukumi (memutuskan), kemenangan dan kesuksesan [5]. Ulama lain, Al-Fairuz Abadi Rahimahullah menjelaskan bahwanama ini secara bahasa berarti al-hakim (yang memutuskan hukum)[6]. Sementara Ibnul Atsir Rahimahullah berkata: “(Arti nama Allah) al-Fattah adalah Yang Membuka pintu-pintu rezeki dan rahmat bagi hamba-hamba-Nya, ada juga yang mengatakan (artinya), Yang Maha Memberi hukum di antara hamba-Nya [7].

PENJABARAN MAKNA AL-FATTAH
Dalam menjabarkan firman Allah “wahuwal fattahul ‘alim”(Dan Dia-lah Maha Pemberi Keputusan lagi Maha Mengetahui)[8] yang memuat nama al-Fattah, ImamIbnu Jarir ath-Thabari Rahimahullah berkata, “Allah (Dialah) Yang Maha pemberi keputusan hukum lagi Maha Mengetahui hukum (yang tepat dan adil) di antara hamba-Nya, karena tiada sesuatu pun (dari keadaan mereka) yang tersembunyi di hadapan-Nya, dan Dia tidak membutuhkan saksi untuk menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah”[9].
Maka, makna al-Fattah adalah Yang Maha Memutuskan hukum di antara hamba-hamba-Nya dengan hukum-hukum dalam syariat-Nya, dan hukum-hukum (ketetapan-ketetapan) dalam takdir-Nya, serta hukum-hukum al-jaza (balasan amal perbuatan yang baik dan buruk), Yang Maha Membuka mata hati orang-orang yang jujur (benar) dengan kelembutan-Nya, Membuka pintu hati mereka untuk mengenal, mencintai dan selalu kembali (bertaubat) kepada-Nya, Membuka pintu-puntu rahmat-Nya dan berbagai macam rezeki, serta memudahkan bagi mereka sebab-sebab untuk mencapai kebaikan di dunia dan akhirat. Allah ‘Azza wa jalla berfirman :
Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh-Nya maka tidak ada seorang pun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu (QS. Fathir/35:2)[10]
Secara lebih terperinci, Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di Rahimahullah menjelaskan makna nama Allah Subhaanahu Wa Ta’ala yang agung ini dengan berkata, “al-Fattah mempunyai dua arti :
Yang pertama: kembali kepada pengertian al-hukmu (menghukum/memutuskan), (yaitu) yang memutuskan dan menetapkan hukum bagi hamba-hamba-Nya dengan syariat-Nya, serta memutuskan perkara mereka dengan memberi ganjaran pahala bagi orang-orang yang menaati-Nya dan (menimpakan) siksaan kepada orang-orang yang berbuat maksiat, di dunia dan di akhirat, berdasarkan firman Allah Subhaanahu Wa Ta’ala :
Katakanlah : “Rabb kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar. Dan Dia-lah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui” (QS. Saba/34:26)

Dan firman-Nya :
Ya Rabb kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil) dan Engkaulah Pemberi keputusan yang sebaik-baiknya (QS. al-A’raf/7:89)
Ayat pertama (artinya) keputusan (hukum)-Nya bagi hamba-hamba-Nya pada hari Kiamat; sedangkan ayat kedua (artinya keputusan/hukum-Nya) di dunia dengan menolong (memuliakan) al-haq (kebenaran) dan penganutnya, serta merendahkan kebatilan dan penganutnya, dan menimpakan berbagai macam siksaan kepada mereka.
Arti yang kedua: Dialah yang membuka semua pintu-pintu kebaikan bagi hamba-hamba-Nya (sebagaimana) firman Allah Subhaanahu Wa Ta’ala :
Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun yang dapat menahannya” (QS. Fathir/35:2)

Dia-lah yang membuka (pintu-pintu) kebaikan dunia dan agama bagi hamba-hamba-Nya, dengan membuka hati-hati orang yang dipilih-Nya yang telah terkunci dengan kelembutan dan perhatian-Nya, dan menghiasi hati mereka dengan pengetahuan tentang ketuhanan (tauhid dan pemahaman yang benar terhadap nama-nama yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna) dan hakekat keimanan (kepada-Nya), yang (semua itu) akan memperbaiki (menyempurnakan) kondisi (agama) mereka dan menjadikan mereka istiqomah (tetap tegar) di atas jalan yang lurus.
Lebih khusus dari semua itu, sesungguhnya Allah Subhaanahu Wa Ta’ala membukakan pengetahuan tentang ketuhanan (tauhid dan pemahaman yang benar terhadap nama-nama yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna), kebaikan rohani, cahaya (hati) yang terang, serta pemahaman dan perasaan yang benar (terhadap agama-Nya) bagi orang-orang yang mencintai-Nya dan selalu menghadapkan diri kepada-Nya pintu-pintu rezeki dan faktor-faktor untuk mendapatkannya. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala menyediakan bagi orang-orang yang bertakwa rezeki dan cara-cara untuk memperolehnya tanpa disangka-sangka, Dia Subhaanahu Wa Ta’ala menganugerahkan kepada orang-orang yang bertawakkal (berserah diri kepada-Nya) lebih dari apa yang mereka minta dan harapkan, memudahkan bagi mereka (mengatasi) semua urusan yang sulit, dan membuka pintu-pintu (pemecahan masalah) yang tertutup’[11]
Berdasarkan penjabaran makna nama Allah Subhaanahu Wa Ta’ala yang Maha indah ini, kita mengetahui rahasia mengapa banyak para ulama yang memberi judul karya tulis mereka dengan sifat Allah al-fath [12], karena mereka memperhatikan makna nama yang agung ini, yang dengan itu mereka berharap Allah Subhaanahu Wa Ta’ala akan membukakan pintu-pintu ilmu yang bermanfaat bagi mereka dan memudahkan pemahaman yang benar dari ilmu yang mereka sampaikan kepada umat ini [13].

PEMBAGIAN SIFAT AL-FATAH (MAHA MEMUTUSKAN /  MENGHUKUMI) MILIK ALLAH SUBHAANAHU WA TA’ALA
Imam ibnul Qayyim Rahimahullah berkata [14] :
Demikian pula al-Fattah termasuk nama-nama-Nya (yang maha indah)
Dan al-fath dalam sifat-sifat-Nya ada dua macam :
Al-fath (yang berarti menetapkan) menetapkan hukum, yaitu syarat Islam.
Dan al-fath (yang berarti menetapkan) ketentuan takdir, ini al-fath kedua
Ar-Rabb (Allah Subhaanahu Wa Ta’ala) Maha Pemberi keputusan dengan dua arti ini
Dengan keadilan dan kebaikan dari ar-Rahman (Yang Maha luas Rahmat-Nya)

Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di Rahimahullah ketika menjelaskan bait-bait syair di atas, beliau berkata : “al-Fattah adalah al-Hakam (Maha Pemutus Hukum), al-Muhsin (Maha Pemberi Kebaikan) dan al-Jawwad (Maha Pemurah). Sifat Allah Subhaanahu Wa Ta’ala al-fath ada dua macam: Yang pertama: (sifat) al-fath (yang berarti memutuskan) hukum dalam agama dan hukum ganjaran (amal perbuatan manusia). Yang kedua: Dia Maha menentukan hukum (ketetapan) takdir (bagi seluruh makhluk-Nya)
Maka (sifat) al-fath (memutuskan) hukum dalam agama adalah (ketentuan) syariat-Nya (yang disampaikan-Nya) melalui lisan para Rasul-Nya Subhaanahu Wa Ta’ala (yang berisi) semua perkara yang dibutuhkan oleh hamba-hamba-Nya (untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’ala) dan untuk tetap istiqomah (tegar) di atas jalan yang lurus. Adapun (sifat) al-fath dalam hukum ganjaran (amal perbuatan manusia) adalah keputusan (hukum-Nya) terhadap para Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para penentang (dakwah) mereka, serta terhadap hamba-hamba yang dicintai-Nya dan musuh-musuh mereka, dengan memuliakan dan menyelamatkan para Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam serta pengikut mereka, dan menghinakan serta menyiksa musuh-musuh mereka. Demikian pula keputusan dan hukum-Nya pada hari Kiamat terhadap semua makhluk ketika ditunaikan (balasan), amal perbuatan seua manusia.
Adapun (yang kedua), menentukan ketetapan takdir (bagi seluruh makhluk-Nya) adalah (semua) ketetapan takdir (yang diberlakukan-Nya) terhadap semua hamba-Nya, berupa kebaikan dan keburukan, manfaat dan celaka serta pemberian dan penghalangan. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman :
Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh-Nya maka tidak ada seorang pun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS. Fathir/35:2)

Dengan begitu, makna ar-Rabb (Allah) Subhaanahu Wa Ta’ala adalah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui, Dia membukakan bagi hamba-hamba-Nya yang taat perbendaharaan anugerah dan kebaikan-Nya, serta membukakan bagi mush-musuh-Nya kebalikan dari itu, semua itu dengan keutamaan (rahmat) dan keadilan-Nya”[15]

PENGARUH POSITIF DAN MANFAAT MENGIMANI NAMA ALLAH AL-FATTAH
Keimanan yang benar terhadap nama-Nya yang Maha agung ini akan menjadikan seorang hamba selalu menghadapkan diri dan berdoa kepada-Nya semata-mata agar Dia membukakan baginya pintu-pintu taufik, rezeki yang halal dan rahmat-Nya, serta melapangkan dadanya untuk menerima segala kebaikan dalam Islam. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman :
Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya (untuk) menerima agama Islam lalu ia mendapatkan cahaya dari Rabbnya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata. (QS. az-Zumar/39:22)

Imam al-Qurthubi Rahimahullah berkata:  Pembukaan (pintu-pintu kebaikan dari Allah Subhaanahu Wa Ta’ala) dan kelapangan dada (untuk menerima kebaikan Islam) ini tidak ada batasnya (sangat luas), setiap Mukmin mendapatkan bagian darinya. Bagian yang paling besar didapatkan oleh para Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kemudian setelah mereka adalah para wali (kekasih Allah Subhaanahu Wa Ta’ala), kemudian para ulama, lalu orang-orang awam dari kalangan kaum Mukminin. Hanya orang-orang kafir yang tidak diberi bagian darinya oleh Allah.[16]
Termasuk dalam pengertian memohon kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dengan nama-Nya yang mulia ini, do’a yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika masuk dan keluar masjid. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Jika salah seorang dari kalian masuk ke mesjid maka hendaknya dia mengucapakn (do’a) :
Ya Allah, bukalah bagiku pintu-pintu rahmat-Mu

Dan jika dia keluar (dari masjid) hendaknya dia mengucapkan (do’a) :
Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu (anugerah) kebaikan dari-Mu [17]

Maka rahmat, kemuliaan dan kebaikan seluruhnya ada di tangan alah ‘Azza wa jalla, Dia membukakan (pintu-pintu kebaikan) dan memudahkannya bagi siapa yang dikehendaki-Nya, dan semua ini termasuk pengaruh positif dan konsekuensi mengimani nama-Nya yang mulia ini[18]

PENUTUP
Demikianlah, semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua untuk semakin bersungguh-sungguh dalam mengusahakan kesempurnaan iman kita kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, serta banyak berdoa memohon kepada-Nya agar Dia membuka pintu-pintu rahmat kebaikan-Nya bagi kita, dengan menyebut nama-Nya al-fattah.
Akhirnya, kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar Dia memudahkan bagi kita untuk meraih semua kebaikan dan kedudukan mulia dalam agama-Nya, sesungguhnya Dia Maha Pembuka pintu-pintu kebaikan lagi Maha Mengetahui.

Footnote:
[1]   An-Nihayah fi Gharibil Haditsi wal Atsar 3/771
[2]   Dalam syair beliau an-Nuniyyah kutipan dari al-Haqqul Wadhi-hul Mubin hlm. 44
[3]   Tafsiru Asma-illahil Husna hlm. 67
[4]   Al-Qawa-‘idul Mutsla hlm. 41
[5]   Mu’jamu Maqayisil Lughah 4/375
[6]   Al-Qamus al-muhith hlm. 298
[7]   An-Nihayah fi Gharibil Haditsi wal Atsar 3/771
[8]   QS. Saba/:26
[9]   Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an 20/405
[10]   Keterangan Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di dalam kita Taisirul Karimir Rahman hlm. 947
[11]   Fathur Rahimil Malikil ‘Allam hlm. 48
[12]   Seperti kitab Fathul Bari karya Imam Ibnu Rajab, juga karya Ibnu Hajar, Fathur Qadir karya Imam asy-Syaukani, Fathul Majid karya Syaikh ‘Abdur Rahman bin Hasan, Fathu Rabbil Bariyyah” karya Syaikh Muhammad al-‘Utsaimin, dan lain-lain.
[13]   Lihat catatan kaki kitab Fiqhul asma-il husna hlm. 123
[14]   Nukilan dari al-Haqqul Wadhihul Mubin hlm. 44
[15]   Al-Haqqul Wadhihul Mubin hlm. 44-45
[16]   Dinukil oleh Syaikh ‘Abdur Razzaq al-Badr dalam Fiqhul Asma al-Husna hlm. 125
[17]   HR. Muslim no.713
[18]   Fiqhul Asma al-Husna hlm. 124-125
Source : Majalah As-Sunnah No.08-Thn. XIV Muharram 1432 H Desember 2010 M

Senin, 25 Juli 2011

Konsep Syukur dalam Kajian Tasawuf

Tanbihun.com – Sifat syukur dalam kehidupan seseorang sangatlah penting karena hidup dengan mengedepankan sifat syukur, akan melahirkan kekuatan yang luar biasa dalam hidupnya, dan dapat membentuk sumber daya manusia yang arif lagi bijaksana serta menjadi syifa ul-linnas(sebagai penawar bagi manusia), yang kekuatan itu tidak mesti dimiliki oleh benda-benda lain, seperti makan-makanan, dan minuman apapun yang kita konsumsi. Sifat syukur hanya lahir dari hati nurani dan kesadaran seseorang yang sudah terbentuk sejak dini dan biasa merealisasikan dalam tradisi yang baik kapan dan dimana pun berada. Sifat syukur dapat memotivasi seseorang dalam memperoleh keberhasilan baik di dunia maupun di akhirat, Mengapa? Sebab dengan mengedepankan sifat syukur, seseorang akan punya sportivitas, profesionalitas yang proporsional dan pada akhirnya akan melahirkan sifat solidaritas/kesetiakawanan amal shalih dan akhlak yang mulia.       Secara bahasa syukur adalah gembira (suka cita), adapun secara istilah maksudnya adalah mengetahui segala kenikmatan itu datangnya dari Allah SWT, baik berupa nikmat iman, taat akan ajaran-Nya, dengan selalu memuji ke atas Dzat sang Pemberi semua keperluan hidup, dengan wujud berbakti kepada-Nya yaitu melakukan kewajiban dan meninggalkan segala perbuatan maksiyat, secara zahir ataupun bathin.[2]
Dalam surah Fathir ayat 3 Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اذْ كُرُوْا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللهِ يَرْزُقُكُمْ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ

لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ فَأَنَّى تُؤْفَكُوْنَ

Artinya:
Hai Manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah Pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki kepada kamu dari langit dan bumi ? tidak ada Tuhan selain dia; Maka Mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)?
Tiga dimensi Syukur
Syukur bisa dikatakan sempurna apabila telah memenuhi 3 kriteria[3],yaitu:
1.     Mengetahui semua nikmat yang Allah berikan, seperti nikmat Iman, Islam dan ketaatan dalam menjalankan perintah-Nya sehingga benar-benar menjadikan Allah sebagai pelindung dan senantiasa hadir dalam hatinya, dengan meyakini bahwa kesuksesan dan segala bentuk kemewahan semua berasal dari Allah, kita hanya di beri pinjaman sementara di dunia.
2.     Mengungkapkan rasa syukurnya dalam bentuk puji-pujian seperti alhamdulillah, asy-Syukrulillah atau ucapan lainnya yang mempunyai arti yang sama.
3.     Nikmat Allah yang ada, bukan untuk dirasakan sendiri melainkan untuk berbagi dengan orang lain, seperti sedekah, infaq dan menolong fakir  miskin, itu semua kita lakukan supaya kita selamat dari ujian dan amanah yang kita hadapi di dunia sehingga kelak harta, tahta dan kekayaan kita menjadi penolong besok pada hari penghitungan amal di yaum mahsyar nanti.
Ada sebuah dialog menarik antara laki-laki dengan Abu Hazm:
Apa syukurnya kedua mata?
“Apabila engkau melihat sesuatu yang baik, engkau akan menceritakannya.  Tetapi apabila engkau melihat keburukan, engkau menutupinya”.
Bagaimana syukurnya telinga?
“Jika engkau mendengar sesuatu yang baik, peliharalah. Manakala engkau mendengar sesuatu yang buruk, cegahlah”.
Bagaimana syukurnya tangan?
“Jangan mengambil sesuatu yang bukan milikmu, dan janganlah engkau menolak hak Allah yang ada pada kedua tanganmu”.
Bagaimana syukurnya perut?
“Bawahnya berisi makanan, sedang atasnya penuh dengan ilmu”.
Syukurnya kemaluan?
“Abu Hazm kemudian membacakan Al-Quran surah Al-Mukminun ayat 1-7”.
Bagaimana syukurnya kaki?
“Jika engkau mengetahui seorang shalih yang mati dan engkau bercita-cita dan berharap seperti dia, dimana dia melangkahkan kakinya untuk taat dan beramal shalih semata, maka Contohlah dia. Dan apabila engkau melihat seorang mati yang engkau membencinya, maka bencilah amalnya. Maka engkau menjadi orang yangbersyukur.”
Abu Hazm menutup jawabannya, “Orang yang bersyukur dengan lisannya saja tanpa dibuktikan dengan amal perbuatan dan sikap, maka ia ibarat seorang punya pakaian, lalu ia pegang ujungnya saja, tidak ia pakai. Maka sia-sialah pakaian tersebut.”
Keutamaan bersyukur:
1.     Allah akan ingat kepada orang yang senantiasa bersyukur.
2.     Akan terhidar dari sifat-sifat ingkar kepada Allah SWT.
Syukur adalah keterbukaan hati, lahir dari kegembiraan, karena melihat kemurahan, kebaikan, kasih sayang, karunia dan semua nikmat-Nya. Shalat merupakan perwujudan syukur, sebagaimana yang terdapat dalam hadist shahih bahwa Rasul SAW melakukan shalat malam sampai kakinya yang diberkahi itu bengkak, itu semua beliau lakukan sebagai wujud tanda syukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah SWT. Dalam riwayat lain disebutkan satu contoh bentuk syukur yang di lakukan oleh Nabi Idris AS, bahwa suatu ketika malaikat mendatangi Nabi Idris, kemudian menyampaikan kabar bahwa Allah SWT telah ridha kepadanya. Kemudian Nabi Idris menangis mendengar berita itu, dan beliau meminta kepada Allah supaya membiarkannya tetap hidup, kemudian ditanya alasannya,
beliau menjawab: “Sebelumnya aku beramal untuk diriku sendiri, kini aku ingin tetap hidup, supaya aku bisa beramal untuk-Nya sebagai rasa syukurku atas keridhaan-Nya padaku”. Kemudian malaikat pun membentangkan sayapnya dan berkata: ‘Duduklah! Idris AS pun duduk diatas sayap malaikat, lalu malaikat membawanya naik ke langit.” Dari kedua riwayat shahih itu, tercermin bahwa syukur sebagai perwujudan amaliyah apabila Allah telah meridhainya.
Dilihat dari sudut lain, lawan syukur adalah kufur. Orang yang kufur terhadap nikmat-nikmat Allah menjadikan murka-Nya. Demikian pula bila dilihat dari quantitas, bahwa sesuatu yang jumlahnya sedikit akan jauh lebih baik dari yang jumlahnya banyak. Dari seluruh manusia, jumlah orang yang beriman tentu lebih sedikit, yang berpangkat wali lebih sedikit dari yang mukmin, dan jumlah para nabi lebih sedikit dari para wali, lalu jumlah rasul lebih sedikit dari jumlah nabi. Begitu pula bahwa orang yang bersyukur itu sangat sedikit jumlahnya, oleh sebab itu baginya kedudukan yang teramat mulia disisi Tuhannya, sebagaimana firman-Nya :

ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيْهِ مِنْ رُّوْحِهِ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ قَلِيْلًا مَّا تَشْكُرُوْنَ

Artinya:
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati;(tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.
Dalam surah Al-Mukminun ayat 78 Allah berfirman:

وَهُوَ الَّذِىْ أَنْشَأَ خَلَقَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَ بْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ الْقُلُوْبَ قَلِيْلاً مَّا تَشْكُرُوْنَ

Artinya:
“Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan dan hati. Amat sedikitlah kamu bersyukur”.[4]
Berbicara tentang syukur, Allah memberikan satu jaminan kepada kita sebagaimana dalam firmannya surah Ibrahim ayat 7:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيْدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِىْ لَشَدِيْدٌ

Artinya:
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.
Ayat tersebut memberikan satu mesej yang cukup jelas, yakni apabila kita bersyukur dengan pemberian Allah pastinya Allah akan menambahkan lagi kenikmatan kepada kita, lalu berbahagialah hidup kita.
Namun, seandainya kita mengkufuri nikmat Allah yakni dengan cara tidak mensyukurinya atau menyalahgunakannya, maka kita akan mendapat pembalasan yang berat dan pedih daripada Allah. Mungkin sahaja pada hari ini kita melihat ramai orang yang mengucapkan lafaz syukur tetapi kehidupannya masih juga tidak bahagia, rezeki datang dan pergi. Ada juga orang yang mengucapkan lafaz syukur, hidup mewah dengan harta, tetapi masih tidak berakhlak dengan perilaku dan sifat sebenar seorang Muslim. Akhirnya, ia juga akan mendapat balasan daripada Allah.
Atas sebab itu, konsep syukur yang sebenarnya harus kita fahami dengan jelas. Imam Ghazali, seperti dalam karya tulisnya Ihya’ Ulum al-Diin menyatakan bahawa syukur itu harus ada tiga elemen. Elemen pertama adalahilmu, elemen kedua adalah perasaan dan elemen ketiga adalah amal.
Untuk seseorang itu benar-benar bersyukur, perkara pertama yang perlu ada adalah ilmu. Ilmu yang perlu ada itu terbagi kepada tiga bagian. Pertama, seseorang itu perlu ada ilmu tentang nikmat itu sendiri. Hakikat tentang nikmat itu perlu diketahui. Ilmu tentang nikmat ini akan membolehkan seseorang untuk memahami nilai nikmat tersebut dan seterusnya menghargai nikmat itu.
Kedua, seseorang itu perlu ada ilmu tentang siapa yang memberi nikmat. Dalam soal ini, pastinya Yang Maha Memberi Rezeki, Yang Maha Pemurah, adalah Allah SWT. Seseorang itu perlu mempunyai ilmu Tauhid yang kukuh. Dengan mengenali Allah, seseorang itu akan memahami bahawa setiap sesuatu itu datangnya daripada Allah, dan adalah merupakan hak milik Allah semata-mata. Setiap satu kejadian itu adalah datangnya daripada Allah. Justru  setiap nikmat dan rezeki itu datangnya daripada Allah, walaupun mungkin saja nikmat itu disampaikan melalui perantaraan makhluk-Nya.
Ketiga, seseorang itu perlu ada ilmu tentang siapa yang mendapat nikmat tersebut. Dalam konteks ini, yang menerima nikmat adalah diri kita sendiri sebagai hamba Allah. Memahami hakikat bahawa kita ini adalah hamba dan makhluk Allah, kita pasti akan merasa hina dan sangat rendah di hadapan Allah.
Elemen yang kedua untuk bersyukur pula adalah perasaan. Apabila menerima sesuatu nikmat itu, seseorang itu haruslah mempunyai perasaan gembira, bahagia. Bagaimana mungkin seseorang itu hendak bersyukur seandainya ia tidak mengalami apa-apa rasa apabila menerima sesuatu nikmat itu? Perlu difahami juga bahwa perasaan bahagia dan gembira ini bukan berpusat kepada kesenangan atas nikmat yang kita peroleh, tetapi lebih kepada perasaan bahagia dan gembira kerana mendapat satu nikmat daripada Tuhan Yang Maha Agung! Perasaan ini hanya mungkin timbul apabila ilmu tentang tiga perkara yang disebutkan tadi telah dimiliki.
Yang terakhir, elemen ketiga dalam bersyukur pula adalah amal, yakni perbuatan. Setelah seseorang itu mempunyai ilmu dan kefahaman tentang perkara yang disebutkan tadi, seterusnya mengalami perasaan bahagia, gembira dan berterima kasih, syukur tersebut perlulah dimanifestasikan melalui perbuatan. Dalam hal ini, seseorang  perlu menggunakan nikmat yang telah diperolehnya untuk mendekatkan dirinya dengan Allah, yakni zat yang telah memberikan nikmat tersebut.
Bagi memahami adunan elemen-elemen dalam syukur ini, Imam Ghazali telah turut memberikan satu analogi. Bagaimanapun, analogi yang diceritakan seterusnya ini telah digubah agar sesuai dengan pemahaman masyarakat masa kini.
Analogi rasa syukur itu begini; bayangkan kita sebagai rakyat Malaysia, tiba-tiba mendapat hadiah sebuah kereta BMW daripada Perdana Menteri Malaysia. Sekarang perhatikan, seseorang yang mendapat hadiah tersebut pastinya tidak akan dapat berterima kasih dan bersyukur kepada Perdana Menteri itu seandainya ia tidak mengetahui nilai BMW. Seandainya seseorang itu tidak mengetahui bahawa BMW itu adalah sebuah kereta yang mahal dan ternama, pastinya ia tidak akan menganggap pemberian itu sebagai sesuatu yang sangat istimewa. Kemudian, pastinya seseorang itu juga tidak akan dapat berterima kasih dengan sahabatnya seandainya ia tidak mengenali bahwa yang memberikan kereta itu adalah Perdana Menteri Malaysia. Ia juga mungkin tidak mampu untuk berterima kasih seandainya ia tidak mengenali dan menyedari bahawa dirinya cuma seorang rakyat biasa yang berdepan dengan pemimpin nomor satu negara. Namun, apabila ia menyedari ketiga-tiga perkara tersebut, maka pastinya ia akan mempunyai perasaan yang sangat-sangat gembira. Ia pasti akan memuji-muji Perdana Menteri itu. Seterusnya, ia pasti akan menggunakan kereta yang telah diberikan itu dengan sebaiknya untuk terus mendekati Perdana Menteri, mengucapkan terima kasih kepadanya dan memuji-mujinya. Ia pasti tidak akan menggunakan kereta itu untuk perkara yang dilarang oleh Perdana Menteri. Begitulah analogi rasa syukur yang sebenar.
Maka, tidak hairanlah pada hari ini jika ramai di antara kita yang hanya sekadar melafazkan syukur di bibir, tetapi tidak bersyukur dengan sebenar-benarnya. Firman Allah:

وَإِنَّ رَبَّكَ لَذُوْ فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لاَ يَشْكُرُوْنَ

“Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mempunyai kurnia yang besar (yang diberikan-Nya) kepada manusia, tetapi kebanyakan mereka tidak mensyukuri(nya).” (Surah An-Naml, ayat 73)
Setiap nikmat, rezeki, kegembiraan, kebahagiaan dan kesenangan yang kita peroleh haruslah dihargai dan disyukuri dengan hakikat kesyukuran yang sebenarnya, supaya Allah akan semakin menambah segala kenikmatan yang telah kita rasakan.
Wallahu A’lam
Ibnu Dahlan El-Madary
Sholli ‘Alaa Muhammad Wa Aalihi
Taman Serdang Perdana, Sg. Besi

Páginas vistas en total

  • Add to Facebook
  • Add to Digg
  • Add to Twitter
  • Add RSS Feed

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Get Gifs at CodemySpace.com

fentyvyot. Diberdayakan oleh Blogger.

 
Design by andre Theme | Bloggerized by andre.ghoib | fentvvyot