Minggu, 21 Agustus 2011

Menyelami makna Idul Fitri

 Tanpa terasa kita telah memasuki lagi Idul Fitri, dan meninggalkan Ramadhan tahun ini di belakang kita. Sebagai umat Muslim tentu ada rasa kesyahduan memasuki hari yang fitri dan rindu yang mendalam meninggalkan Ramadhan, bulan yang suci penuh berkah dan mahfirah.

Melalui tulisan ini saya ingin mereaktualisasikan makna datangnya hari raya Idul Fitri yang terkadang tanpa disadari, esensinya bergeser dalam pemahaman sebagian kalangan tertentu. Karena Idul Fitri adalah kebahagiaan beraktivitas di hari kemenangan bersama anak cucu, kerabat, atau teman-teman dekat dengan shalat Ied berjamaah di sebuah masjid atau lapangan, berjabat tangan (ramah tamah), menyantap ketupat serta aneka macam makanan dan minuman lainnya.

Tetapi lebih dari itu, IdulFitri juga mesti merasuk ke relung hati terdalam yang ditempa puasa sebulan penuh selama Ramadhan.. Rasa sosial mesti sudah  lebih peka, bahkan sangat peka atas kehidupan kebersamaan secara sosial di dalam masyarakat kita, sehingga kita menjadi mahluk sosial yang lebih paripurna.

Sekat-sekat psikologis yang menghalangi hubungan kemanusiaan (human relations) sudah harus ‘runtuh’ sehingga semakin terwujud rasa dan sikap kebersamaan. Komunikasi antara pribadi semakin efektif dengan semakin tidak berjaraknya secara sosial antara satu dengan yang lainnya.

Dengan satu pemahaman yang sama bahwa manusia tidak dibedakan kecuali oleh ketaqwaannya di hadapan Allah SWT, Tuhan Semesta Alam. Ini adalah modal dasar, bahkan modal utama bagi sinergitas suatu masyarakat yang dinamis, maju dan berkembang.

Memiliki saling kesepahaman, meminimalisir rasa saling curiga atau dalam bahasa agamanya meningkatkan sikap saling husnuzhon terhadap sesame manusia dan juga terhadap Allah SWT Sang Pencipta.

Sikap kepekaan sosial sebetulnya telah difasilitasi dalam kerangka ibadah zakat fitrah dan zakat lainnya. Karena sikap kepedulian sosial akan bermuara pada kebersamaan dan tenggang rasa melihat kekurangan orang lain, maka zakat juga adalah proses kebersamaan dan pemenuhan kekurangan tersebut; dalam momen Idul Fitri.

Oleh karena di belahan bumi ini masih banyak kita temukan saudara-saudara kita yang hidup di bawah garis kemiskinan, baik itu disebabkan oleh ketidakstabilan politik dan perekonomian, maupun dikarenakan faktor minimnya sumber daya manusia.

Maka zakat seperti tidak pernah kekurangan lapangan untuk pengimplementasiannya. Betapa beruntungnya orang yang memiliki kelebihan harta benda di negeri kita ini karena tidak pernah kekurangan fakir miskin untuk berbagi. Oleh karena itu kita harus tidak kekurangan usaha untuk terus meningkatkan harkat dan martabat saudara- saudara kita.

Lebih dari itu, zakat bukan sekadar memenuhi kekurangan saudara kita, tetapi adalah suatu upaya menyelamatkan mereka dari kekufuran. Bukankah Rasulullah Muhammad SAW pernah mengingatkan akan efek dari kemiskinan, bahwa kemiskinan bias menjerumuskan seseorang dalam kekufuran, kaadal fakru anyakuuna kufron (al-hadis).

Tentunya kita tidak rela kekufuran akan mengganti keimanan mereka. Di sisi lain komitmen Islam yang mendalam terhadap pesaudaraan dan keadilan menyebabkan konsep kesejahteraan bagi semua umat manusia sebagai suatu tujuan pokok Islam.

Para fuqaha (pakar hukum Islam) telah kifayah (kewajiban kolektif) hukumnya bagi masyarakat Muslim untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan pokok orang miskin. Kalau demikian adanya, kesempatan Idul Fitri kali ini nurani kita mesti tergugah untuk melakukan sesuatu yang berarti bagi saudara-saudara yang hidup dalam belenggu kesengsaraan.

Semangat Idul Fitri Di Pemerintahan
Idul Fitri juga adalah persesuaian antara ukuran-ukuran dan nilai-nilai trasendental dengan kenyataan-kenyataan serta tindakan- tindakan sosial. Karena tanpa itu Idul Fitri hanya akan difahami secara konsumtif.

Kalau sudah begini maka yang dominant adalah nilai-nilai hedonism. Jika ini yang terjadi, maka nilai-nilai suci Idul Fitri bisa tereduksi. Hubungan kemiskinan dengan zakat tidak akan tampak harmonis. Semuanya berjalan sendirisendiri dan tidak mencerminkan kehidupan sosial masyarakat yang saling mengisi.

Untuk itu kita harus mereinterpretasikan Idul Fitri agar lebih bermakna bagi jiwajiwa dalam masyarakat kita. Agar ketinggian nilai puasa dan Idul Fitri itu bias terjewantah dalam kehidupan kita bersama, yaitu sinergitas masyarakat yang dinamis yang bersama dalam kesefahaman dan upaya yang kuat secara bersama-sama untuk berbagi.

Secara terlembaga, semangat Idul Fitri seperti yang diuraikan di atas sebenarnya telah terrefleksikan dalam peran pemerintahan. Karena pemerintah, khususnya, di masa otonomi daerah ini adalah mengayomi dan memperhatikan serta memfasilitasi kekurangan rakyatnya di masingmasing daerah. Rakyat secara bersama-sama memunculkan kesadaran-kesadaran dalam pribadinya masing-masing sehingga memunculkan kesadaran kolektif akan kehidupan kebersamaan secara sosial. Berbagai perbedaan direduksi sedemikian rupa sehingga memunculkan persamaan pemahaman akan kepentingan bersama untuk hidup dengan sejahtera.

Kesadaran direfleksikan pada sikap saling percaya dan mempercayai serta saling bergerak maju bersama-sama. Bagi yang memiliki kelebihan harta benda memiliki kesadaran untuk berbagi dengan menjalankan kewajibannya melalui pemerintah.

Selanjutnya pemerintah dengan arif dan bijaksana menebarkan kebaikan secara merata sehingga semua rakyat bisa merasakan kebahagiaan. Ini adalah suatu kondisi ideal dalam tataran kehidupan bermasyarakat yang dijiwai oleh nilai-nilai  Idul Fitri.

Setidaknya ada dua syarat yang perlu ada untuk tujuan tersebut yakni pertama pemerintahan yang kuat dan berwibawa. Pemerintahan semacam ini hanya bisa terwujud jika ada dukungan kolektif yang kuat terhadap seorang kepala daerah yang memiliki komitmen kuat membangun daerahnya.

Pemimpin tersebut haruslah orang yang punya pribadi yang telah Idul Fitri dan mampu bertindak sebagai manager yang mengatur berbagai kebijakan untuk mengumpulkan semua kebajikan dari rakyatnya dan mengembalikannya dengan bijaksana kepada rakyatnya lagi secara merata.

Bukanlah kepala daerah atau pemimpin yang hanya mencari keuntungan pribadi dan menumpuk harta untuk pribadi, keluarga, kerabat, sahabat, dan kawan-kawannya sebanyak-banyaknya dengan cara memonopoli proyek-proyek pembangunan di daerah yang dipimpinnya atau cara tukar-menukar aset daerah kepada kawan-kawannya atau sahabatnya baik pribumi maupun nonpribumi, di sisi lain para staf dan wakil kepala daerah atau wakil si pemimpin tersebut tidak kenal sama sekali dengan teman-teman dari kepala daerah atau pemimpin tersebut sebelumnya.

Yang penting dapat keuntungan yang besar, karena mengeluarkan biaya sedikit pada saat pilkada atau pemilihan daerah sebagaimana prinsip ekonomi atau pedagang, akibat dari persyaratan sebagai kepala daerah bisa saja berlatar belakang macammacam seperti pedagang eceran, pemborong, pengusaha, dosen dan profesi lainnya, sebagaimana telah saya uraikan pada tulisan terdahulu.

Apabila dalam proses dan perjalanannya sebagai pemimpin, ada kekeliruan/ kesilapan atau kesalahan, yang disalahkan / disangkakan bersalah itu adalah wakilnya atau stafnya dengan cara memprofokasi atau meyakinkan dengan cara halus, lembut dan tata bahasa yang teratur kepada sebagian pemuka agama, tokoh masyarakat atau orang-orang tertentu agar bisa disebarluaskan pada pengajian-pengajian, pesta atau kalau ada orang meninggal, bahwa yang salah itu atau di persangkakan bersalah adalah wakilnya atau stafnya dan hal ini juga disampaikan kepada aparat hukum baik secara teknis maupun nonteknis, karena si kepala daerah atau si pemimpin tersebut mempunyai modal dari segala segi, aspek dan hal.

Sementara itu sang kepala daerah tersebut atau si pemimpin itu tidak bersalah dan tidak pernah merasa bersalah karena dari keturunan orang baik-baik, ulama besar, pengusaha sukses atau orang bersih dan suci. Walaupun ada beberapa orang yang tahu dan mengetahui persis bahwa si kepala daerah atau si pemimpin tersebut membangun fasilitas dagang ecerannya dengan serba wah dan mewah, lengkap pakai lift/tangga berjalan dan bahkan kalau perlu menambah kapal baru di luar daerah yang dipimpinnya.

Inilah salah satu kelemahan dari Undang-undang Pokok Pemerintah Daerah sekarang, siapa saja bisa menjadi kepala daerah atau pemimpin, asalkan populer dan mempunyai sarana dan prasarana. Sejatinya persyaratan sebagai kepala daerah atau pemimpin itu adalah di samping persyaratan formal juga nonformal yaitu memenuhi minimal salah satu dari faktor-faktor calon pemimpin antara lain;

1. Faktor gen/keturunan (dari bapak dan jelas pendidikannya).
2. Pendidikan yang jelas atau kalau sarjana/ilmuwan jelas alamat kampusnya.
3. Birokrat (pegawai negeri sipil, TNI/ Polri), politikus sejati dan pedagang sejati

Agar supaya apabila menjadi kepala daerah atau pemimpin, tidak munafik dan bertanggung jawab atas segala perbuatan, tindakan dan keputusan-keputusan yang dia perbuat, sehingga tidak menyalahkan wakilnya atau staf atau orang lain atau mencari kambing hitam, apabila terjadi kekeliruan/kesilapan atau kesalahan dalam pelaksanaan dan perjalanan sebagai kepala daerah atau pemimpin daerah.

Syarat kedua adalah munculnya kesadaran kolektif dalam masyarakat akan kesefahaman kehidupan sosial kemasyarakatan. Ini juga hanya bisa akan terwujud jika seorang manager pemerintahan mampu memberikan stimulasi bagi munculnya kesadaran tersebut. Dengan kata lain, masyarakat di suatu daerah harus sudah bisa melahirkan seorang sosok pemimpin yang benar-benar dibutuhkan untuk membawa daerahnya dalam kehidupan yang sejahtera.

Penutup
Perlu saya tekankan lagi bahwa makna Idul Fitri bukan hanya ‘perayaan’ oleh pihak tertentu saja, tetapi kebahagiaan tersebut harus dirasakan oleh seluruh elemen masyarakat lintas profesi dan tingkat strata sosial. Semangat Idul Fitri merupakan modal dasar yang kuat untuk membangun bangsa dan negara kita tercinta.

Dalam kesempatan ini, izinkan saya untuk mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1430 Hijriyah, Minal ‘Aidin Wal Faidzin dari dasar hati yang dalam kepada semua pembaca Harian Waspada khususnya kepada warga masyarakat kota Medan dan Sumatera Utara. Insya Allah saya dan kita semua akan memberikan pengabdian terbaik bagi kehidupan kebersamaan kita membangun kota Medan tercinta sesuai dengan profesi masingmasing.

Karena pengabdian itu tidaklah berbatas waktu, tempat, situasi dan kondisi serta bersama kita bisa membangun kesefahaman dan kesejahteraan kolektif. Insya Allah.

0 komentar:

Posting Komentar

Páginas vistas en total

  • Add to Facebook
  • Add to Digg
  • Add to Twitter
  • Add RSS Feed

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Get Gifs at CodemySpace.com

fentyvyot. Diberdayakan oleh Blogger.

 
Design by andre Theme | Bloggerized by andre.ghoib | fentvvyot